Senin, 13 Januari 2014



CAHAYA MATA
KARYA : AINI NUR K R
Aku tak bisa mengendalikan lagi laju kendaraanku. Terdengar suara ban mobilku mendecit-decit. Orang-orang memekik. Berpasang mata seakan ditarik pada satu titik. Aku terkejut.  Mobilku menghantam sesosok laki-laki yang melintas di depanku.Sesosok tubuh itu pun terkapar di trotoar, mengejang menahan sakit. Sebelah tangannya berusaha keras tetap terkepal. Genangan air hujan yang menadah kepalanya berangsur merah saat tangan lelaki itu akhirnya rebah.Bumi seakan berhenti bernafas. Hanya sesaat sebelum kembali riuh. Teriakan....Jeritan klakson. Titik-titik air yang meluncur serentak seperti derap sepatu tentara yang melangkah dengan kemarahan. Secarik kertas pelan-pelan kuyup oleh rintik hujan yang kian deras.
Masih mengalir jelas dalam memori ingatanku. Enam tahun yang lalu, sepasang mata ini masih bisa memandang birunya langit yang berselimut awan tipis kian membumbung. Seperti cita-citaku yang tinggi untuk menjadi seorang pelukis hebat.Pada langit yang biru itu, selalu saja memberiku ruang inspirasi untuk menggantungkan cita-citaku setinggi mungkin. Setinggi langit yang aku lihat setiap hari.Dari jendela kamar ini pun, aku masih bisa menyaksikan dengan jelas keremangan senja yang merona keemasan bersama kepak-kepak sayap burung pipit melintas dan terus menghilang. Bahkan saat malam sebelum memejamkan sepasang mataku, aku selalu memandangi bulan yang berbingkai bintang-gemintang. Semua begitu indah.Waktu itu pun, aku masih bisa melihat dengan jelas salah satu lukisan karya pertamaku, yang kini tergantung di dinding kamar. Seakan ia menyatu dengan nasibku yang kini tergantung-gantung. Lukisan yang penuh dengan warna itu membuat aku senang sekali. Dan semuanya masih terlihat jelas dalam ingatanku enam tahun yang lalu. Duniaku yang dulu. Dunia yang penuh dengan warna. Tapi, semua warna itu telah berubah menjadi gelap. Seperti kanvas yang bersimbah cairan cat hitam. Ya, sejak peristiwa itu terjadi, aku hanya mengenal satu warna saja. Semuanya adalah hitam, gelap. Menakutkan. Sampai-sampai aku tak bisa melihat wajahku sendiri saat bercermin. Dokter yang telah memvonisku buta seumur hidup setelah peristiwa itu, membuat aku membenci semuanya. Sebab aku tidak rela dan aku tidak mengerti kenapa duniaku kini mendadak berubah?
Ah! Andai saja, pecahan kaca waktu itu tidak menancap di mataku. Aku mungkin tidak akan buta seperti sekarang ini. Aku harus meraba-raba ke manapun aku melangkah. Aku malu. Bahkan aku tidak akan tau, sekalipun di depanku ada jurang atau lautan. Aku membenci keadan ini. Kalau saja waktu bisa diputar ulang, aku akan mengendarai mobil dengan hati-hati waktu itu. Pasti!Tapi, kenapa harus aku yang kehilangan kedua mata ini. Tuhan sepertinya tidak adil. Aku marah. Aku begitu terpukul. Berbulan-bulan aku hanya mengunci diri di dalam kamar, bersama kedua mataku yang buta ini. Bahkan bukan saja mataku yang buta, tapi hatiku juga hampir buta. Aku telah mencoba mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Tapi setiap kali aku mencoba, selalu saja ada yang menggagalkanku. Akhirnya aku sadar kalau Tuhan masih sayang denganku.
Saat itulah Bastian hadir. Aku seperti menemukan mataku. Dengan kesabarannya ia mengajariku untuk mengerti hakikat hidup. Ia mengatakan bahwa Tuhan telah memberikan yang terbaik untukku se-karang. Aku pun bisa memahaminya. Semenjak itu, bila saja terdengar kokok ayam pertanda fajar telah datang, aku terbangun dan bergegas membuka jendela kamarku yang menghadap ke ufuk timur. Seakan mata ini bisa melihat terangnya sinar putih sang mentari yang merayap meninggi. Meski aku sadar, itu bukanlah kenyataan, tapi aku seperti melihat harapan itu. Harapan yang selalu hadir bersama bayangannya. Bastian adalah sahabatku. Aku tak sengaja mengenalnya. Aku menabraknya saat aku tersesat waktu nekat keluar rumah. Dengan tulus ia menemani dalam duniaku yang gelap hingga saat ini. Seakan ia hadir membawa cahaya yang terang. Dia begitu setia. Sepanjang jalan waktu itu, ia memberiku banyak nasehat. Hingga aku bisa menemukan hidupku yang baru, meski penglihatanku cacat. Sampai akhirnya, aku bisa tiba di rumah dengan bimbingan dia.Hari ini adalah hari ke delapan aku melangkah kakiku keluar menuju ke sesuatu tempat di mana aku bertemu dengannya. Tempat yang seakan telah menemukan semangatku untuk hi-dup. Meskipun aku tidak tau tempat ini seperti apa. Tapi aku bisa merasakan tem-pat ini terasa indah, apalagi dengan kehadirannya. Aku telah memberanikan diri melangkah lebih jauh. Seperti dulu, saat mata ini masih berfungsi dengan baik. Awalnya aku hanya melangkahkan kakiku dengan bantuan tongkat menyusuri teras rumah. Terus ke halaman, jalan, dan tempat ini. Di sini aku bisa merasakan terpanaan sinar mentari pagi. Aku tidak peduli kulitku yang dulu putih kini menjadi gelap. Aku semakin mengenali tempat. Sekalipun hanya dengan bantuan tongkat ini aku memberanikan diri bermain-main mengikuti raba-annya.Aku menunggu seseorang di sini. Seseorang yang senantiasa menguatkanku dengan keadaaku. Dengan kesabaran dan ketulusan ia mengajariku untuk percaya diri. Untuk bangkit. Ya, seseorang itu adalah kekasihku. Ia adalah satu-satunya orang yang tidak pernah aku benci. Aku mengenalnya begitu dekat.
“Sayang… kau kah itu?” Aku mendengar ada langkah kaki mendekatiku.
“Iya Cahaya, ini aku. Apa kabarmu?” Seseorang telah menyapaku. Itulah Bastian. Seseorang yang begitu tulus menemaniku. Aku bahkan telah jatuh cinta pada ketulusan hatinya. Dan ia pula jatuh cinta dengan kesabaranku.
“Apakah langit hari ini begitu indah, Bas?” Aku memberanikan bertanya.
“Iya Cahaya. Ada tebaran awan putih di sana. Kepak-kepak burung pipit, bermain-main di udara. Langit cerah membiru. Seperti birunya hubungan kita.” Bastian menggambarkan semua itu padaku.
“Kau yakin, aku akan bisa melihat langit itu kembali?”
“Cahaya… yakinlah suatu saat kau akan bisa melihat indahnya langit.” Bastian menyakinkanku. Begitulah ia selalu memberi semangat kepadaku.
“Ya.. bila aku bisa melihat langit kembali, kita akan segera menikah.” Ucapku dengan penuh harap.
Begitulah setiap hari ia berusaha meyakinkanku. Ia tak pernah lelah mencari orang yang bisa mendonorkan mata untukku. Tapi setiap kali ia gagal, aku pula yang semakin jenuh. Tapi aku tidak pernah berhenti berdoa, hingga peristiwa besar itu telah memisahkan kami.
Perempuan dengan kaus panjang warna putih, duduk di ha-laman depan rumah sejak pagi tadi. Matanya tertutup oleh perban putih yang melingkar di kepalanya. Tiga pekan yang lalu, ia sudah menjalani operasi mata. Dokter bilang ia akan sembuh dan bisa melihat sebagaimana orang normal lainnya. Dania tidak perlu menggunakan tongkat lagi untuk membantunya berjalan.Itulah aku. Aku sangat bersyukur dan berterimakasih kepada seseorang yang telah mendonorkan matanya untukku. Meskipun aku tidak tau siapa dia. Awalnya pun aku ragu. Tapi Bastian, kekasihku telah memberikan dorongan yang kuat untuk menerima tawaran itu. Aku pun menerimanya.
“Cahaya sebentar lagi engkau akan melihat betapa indahnya langit hari ini. Awan putihnya seakan berkejaran dengan riangnya mengejar pelangi di sana.” Suara Bastian memecah kesunyian pagi.
“Sungguh?” Aku berbunga-bunga mendengar perkataan kekasihku. Aku bisa merasakan. Ia berdiri tepat dibelakang di mana aku duduk. Tangannya perlahan membuka perban yang sejak kemarin menutup kedua mataku dengan hati-hati.
“Bukalah matamu perlahan-lahan Cahaya! Dan saksikanlah betapa langit begitu indah sekarang. Ia seakan menunggu hadirmu, Cahaya.”
Aku menggerakkan mataku. Aku masih takut apakah mata ini masih bisa normal kembali. Perlahan aku buka kelopak mataku. Terasa berat. Aku terus mencoba dengan hati-hati. Perlahan mataku seperti diserbu ribuan berkas cahaya yang me-nusuk-nusuk mataku. Begitu menyilaukan. Perlahan semua yang tadinya samar-samar, kini terakomodasi kian jelas. Aku takjub dengan keajaiban yang aku lihat. Hatiku membuncah. Mataku telah bisa melihat keindahan langit pagi ini. Bahkan nanti, aku pasti bisa menyaksikan mentari yang merona keemasan menjemput malam bersama kepak-kepak sayap burung senja.

“Apa yang kau rasakan Cahaya?”
“Aku…aku… bahagia. Aku bisa melihat langit yang membiru itu, Bas..! Aku bahagia sekali.” Aku gugup. Aku begitu terpana dengan pemandangan di atas sana. Pemandangan yang selama ini aku impi-impikan. Dunia yang selama ini gelap, sekarang begitu terang benderang.
“Benar Cahaya, langit itu telah menunggu sapaanmu sejak lama.” Ucap Bastian yang memegang erat bahuku sejak tadi.
“Lihat di sana ada awan putih!” Aku menunjuk ke arah kanan di mana kami berada.
“Ya! Awan putih senantiasa begitu indah, selalu meneduhkan pandangan kita.”
Aku semakin asyik melihat semuanya. Hampir-hampir aku tidak menyadari kalau Bastian berdiri setia menemaniku.
“Kalau boleh aku tahu, siapa yang mendonorkan mata ini untukku, Bas?” Aku bertanya padanya. Hatiku berbunga-bunga. Membuncah dalam kesenangan.
“Dia sudah ikhlas mendonorkan matanya, Cahaya. Yang penting sebentar lagi kita akan menunaikan janji untuk hidup bersama. Kita akan tinggal di sebuah rumah yang telah kita impikan selama ini. Aku akan menikahimu Cahaya!” Bastian berucap.Aku tersadar, aku teringat dengan janji itu. Aku membalikkan pandanganku, dengan serta merta aku akan mengatakan yang sesungguhnya kalau itu adalah impianku selama ini. Tapi bibirku terkunci, saat tersadar kau seperti aku yang kemarin.

“Tidak!” Aku terperangah kaget. Aku menjauhinya.
“Ada apa Cahaya!” Ia seperti mengkuatirkan keadaanku.
“Tidak…!” Aku sekali lagi terkejut dengan yang aku lihat. Aku ketakutan melihatnya.
“Cahaya…! Kau kenapa?” Ia kebingunan mencariku. Aku menghindar dan menepis tangannya yang meraba-raba.
“Tidak mungkin. Tidak mungkin aku akan menikah dengan orang buta sepertimu!” Aku menangis. Aku berlari menjauhinya. Ternyata orang yang selama ini begitu dengan tulus menyayangiku adalah orang yang cacat penglihatannya.
“Kau bukan Bastian. Bastian tidak buta. Pergi Kau!” Aku mengusirnya, hingga ia harus tertatih-tatih pergi menjauhiku.

Selembar surat aku baca. Ada pesan singkat di sana.

Sayang…
Sekarang kau bisa melihat langit kembali. Aku begitu bahagia.
Sayangku…
Tolong engkau jaga baik-baik kedua mata yang telah aku berikan kepadamu.
Yang menyayangimu,
(Bastian)
Air mataku tumpah bersama air hujan yang membasahi selembar surat yang ku pegang sejak tadi. Aku tak kuasa membaca tulisan singkat yang tidak beraturan itu. Tetes air mataku kian memendarkan surat terakhirnya. Tulisan itu seakan telah menampar keegoisanku. Aku telah sombong dengan kedua mataku.
“Bastian….!” Aku berteriak memanggil-manggil namanya. Aku tersadar kedua mataku ini adalah matanya. Kini ia telah pergi dengan mengenaskan. Dan itu berpunca dari sikapku yang salah.
Aku terlambat meminta maaf padanya. Dan aku baru sadar, kalau tubuh itu telah terbaring lemah di atas trotoar bersimbah darah. Aku telah menemukannya tak bernyawa lagi, setelah aku tega mengusirnya. Sesalku bertubi-tubi menghujani pikiranku.


==================================================================


 MUTIARA KASIH
Karya : Nadia Saputri


            Kala hari mulai meredup, cahaya senja mulai surut diterpa angin berhembus dingin, gemericik air mengalir dalam parit-parit kecil membawa benda-benda yang hanyut, kawanan burung pipit terbang ria di langit kembali ke peraduan bukit. Gelak tawa memecah kesunyian senja ini di sebuah keluarga kecil yang asyik bercanda menikmati senja menjelang petang tiba. Sesaat kemudian terasa hening ketika terdengar deru suara mesin menuju ke arah rumah mereka dan akhirnya tepat berhenti di depan rumah. Sejenak merekapun terdiam, tiba-tiba ada seorang ibu separuh baya datang untuk membicarakan suatu hal yang sangat penting. Kemudian Rizta dan kedua adiknya masuk ke dalam rumah dan tidak berani ikut campur tentang urusan orangtua mereka. Beliau adalah Bu Santi, tetangganya Pak Karsoyang sangat akrab. Maksud kedatangan beliau yakni minta pertolongan Pak Karso untuk menangani seorang gadis yang sakit, ia kuliah di fakultas ekonomi. Gadis itu bernama Tirani, ia telah menderita penyakit liver selama kurang lebih kurang dua tahun. Tantenya telah membawanya ke berbagai klinik pengobatan namun percuma saja karena dokter sudah angkat tangan dan menyatakan bahwa umurnya tinggal seminggu lagi. Pak Karso merasa iba mendengar cerita tersebut dan akhirnya ia mau membantu Bu Santi untuk mengobati kemenakan tersayangnya itu.
            Mentari mulai terbit, hari yang cerah untuk melakukan aktivitas (rutinitas) sehari - hari tetapi pagi ini ada sesuatu yang berbeda dengan Pak Karso. Tampaknya beliau terlalu bersemangat berangkat kerja dan menepati janjinya untuk menangani si gadis belia itu. Beliau bekerja di sebuah staff kepegawaian negeri di kantor perusahaan Pak Burhan. Sepulang dari kantor beliau langsung menuju ke rumah Tirani (gadis yang menderita penyakit liver) tanpa berpamitan dulu kepada isterinya. Bu Marsyapun keheranan mengapa suaminya bertingkah aneh sekali. Hari demi hari terlewati dan suaminya semakin banyak menyisihkan waktunya untuk gadis tersebut. Kasih sayang dan cintanya kini telah terbagi, kebahagiaan keluarganyapun serasa mulai pudar. Kini rumah itu bagai gedung tua tak berpenghuni, sunyi senyap memadati lorong-lorong rumah. Sikap Pak Karso yang acuh dan lagak sinis terlontar dari wajahnya. Dia hanya memperhatikan kondisi Tirani yang semakin parah itu dan Pak Karso telah menangani Tirani selama hampir tiga minggu. Memang hal itu kedengaran mustahil sekali karena dokter sudah memvonis usia si gadis hanya bisa bertahan sampai seminggu saja. Tapi hal ini sangat bertolak belakang dengan apa yang tengah terjadi.  Ini adalah sebuah keajaiban dan keajaiban itu sumbernya kekuatan hati, hati yang menggerakkan untuk mengalahkan berbagai ancaman dan penyakit yang menyerang, hati dua insan telah menumbuhkan kasih sayang dan cinta meski cinta itu terlarang. Kini benih-benih mulai tumbuh dan bersemi di dalam jiwa Tirani, sehingga ia bisa merasakan keindahan, kehangatan dan kasih sayang yang ia dapatkan dari Pak Karso.
***
            Bu Marsya merasa sedih, kecewa seakan dunia penuh awan hitam yang mengepung dirinya menuju ke gerbang penyiksaan. Hatinya pilu sekali bahkan bisa dibilang cemburu karena perilaku Pak Karso menjadi berubah 1800 dari asalnya semenjak menangani Tirani. Beliau pusing dan kecewa mengapa suaminya bisa tega dan melalaikan tugas serta tanggung jawabnya selaku kepala rumah tangga. Musibah yang menimpa Bu Marsya tak dapat ditepis lagi, kali ini ia harus dihadapkan dengan kenyataan pahit, ia harus berbesar sati menerima kepergian kakak perempuannya yang merantau di Jakarta.Fikiran Bu Marsyapun kacau hatinya bagai pohon yang tumbang karena tersambar petir seketika, ia masih kelu memikirkan masalah yang membelenggu keluarganya.
            Tepat tujuh hari setelah mendiang kakak perempuannya. Bu Marsya terus merenung dan lebih banyak berdiam diri di kamarnya. Hari-harinya dipenuhi oleh tetesan air mata yang berderai membasahi pipinya. Anak perempuannya (Rizta) mencoba mengibur nya dengan leluco-lelucon kecil, tetapi beliau masih belum dapat membendung kepedihan luka batinnya. Hari semakin sore, burung-burung telah kembali ke peraduan menyambut petang datang. Bu Marsya, Pak Karso dan anak-anaknya duduk santai di halaman depan rumah. Sang isteri mencoba bertanya kepada Sang suami dengan pelan dan nafas teratur, tetapi Sang suami tetap diam seribu bahasa bahkan Pak Karso tak mau memperhatikan isterinya apalagi berbicara sepatah katapun tidak.
            Dia bagaikan orang asing di dalam rumahnya sendiri, muka masam dan senyum sinis selalu ia lontarkan kepada anak dan isterinya. Bahkan ketika anak terkecilnya minta mainan tiada ia hiraukan malah ia bentak – bentak dengan nada tinggi.
“Ayah, aku minta dibeliin motor-motoran dong..” ( dengan wajah berbelas dan penuh harap )
“Ngga’ ada, ayah lagi ga’ punya duit, kerjaanmu cuma main melulu, minta ini minta itu ! kapan belajarnya ? hah .. ?!” ( menatap tajam ke arah mata puteranya )
“Ayah jahat !!! ayah ga’ sayang ama aku lagi !” (dengan penuh kesal )
“hu u u u... hu u u u...” ( menangis  tersedu –sedu )
“Cup cup cup.. udah berhenti nagis ya nak, nanti ilang lo gantengnya kalau kamu nangis terus,, anak ibu ga’ boleh cengeng.. anak ibu super hero ya,, sabar Ihsan nanti pasti ayah beliin mainan baru.. yach” ( hibur Bu Marsya sambil mendekap putra bungsunya )
“Ngga’ Ayah jahat... !” ( merengek –rengek dalam dekapan ibunya )
“Sudah nak, cuuup... itu liat ada pesawat terbang datang kekamu bawa brownies kecil.”
“hooo.. uye... brownies – brownies my sweety, come here to me !” ( beranjak dari dekapan ibunya dan langsung menyahut brownies dari pesawat yang dikirim oleh Kak Abim )

            Perlahan air mata si kecil Ihsan mulai menyusut dan wajah ceria mulai menghiasi wajah mungilnya. Kak Abim telah mencuri hatinya agar bisa membuang kekecewaan adiknya. Namun disisi lain, Bu Marsya hatinya masih kalut, ada sakit yang tertahan dan air matanya serasa ingin ia tumpahkan saat itu juga. Dengan segera ia menarik tangan suaminya menuju ke kamar untuk meluapkan emosi dan kepedihan hatinya. Keributan tak dapat terhindarkan hingga membawa sepasang suami isteri ke medan pertikaian.

“Mas, sudah bangga kamu bisa menyelamatkan gadis itu, sedangkan anak dan isterimu kau telantarkan ?” ( dengan nada tinggi dan penuh amarah )
Pak Karso menunduk terdiam dan tak berani menatap wajah sang isteri.
“Jawab mas ?! jawab pertanyaanku ini ! apa arti cinta dan kasih sayang bila hatimu masih beku tak tersentuh kemurnian nurani. Selama ini rumah tangga kita baik-baik saja, tapi semua berubah sejak kau menangani gadis itu, segalanya kau curahkan semata-mata hanya untuk kesembuhan gadis itu. Nasib anak isterimu tak kau hiraukan, kau campakkan hati. Dimana tanggungjawabmu selama ini ? Kemanakah sosok ayah yang jadi tauladan bagi keluarga yang kian hari kian tenggelam di lautan pasir kebisuan ?!” ( berkata lirih dan berderai air mata )
Pak Karso masih terdiam dan tak berani menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari mulut isterinya tersebut. Ia tak merasa bersalah sedikitpun bahkan mengalihkan pandangan dari isterinya. Semua ucapan isterinya ia biarkan dan tak ia hiraukan bagai angin yang berlalu.
            Suasana semakin menegang, tak ada satupun suara yang berani terucap dari sudut manapun.Abim dan Ihsan telah terlelap dalam malam yang kian mencekam, namun Rizta tak henti-hentinya menulis buku harian yang menjadi teman curahan hatinya dikala duka maupun tawa. Ia tulis beragam peristiwa yang tengah ia hadapi dalam keluarganya. Malampun kian larut, bulan enggan menyapa malam nan kelabu. Bu Marsya terhenti dari ucapan-ucapan yang ia lontarkan pada sang suami. Serdadu mundur dari medan pertempuran, awan menggumpal semakin tebal dan akhirnya mengguyur benteng-benteng sekutu dan memberi petisi terakhir untuk langkah kebijakan. Pak Karso memilih berlalu dari hadapan Bu Marsya dan langsung menuju ruang tamu. Ia memutuskan untuk tidur di soffa daripada mendapat omelan  yang tidak jelas dari sang isteri.
***
            Bu Marsya menangis pilu semalam suntuk, meratapi kepedihan dan kegalutan hatinya, ia tak kan bisa tidur tenang hingga tengah malam terlewati. Kemudian hatinya tergerak, ia langkahkan kaki menuju air padasan untuk berwudlu dan mengadu kepada sang khaliq tentang semua yang ia rasakan. Bermunajat dalam keheningan malam akan pintanya. Mengharap kasih dan ridho-Nya untuk mendapatkan jalan yang terbaik bagi masalah yang menimpa keluarganya.
            Namun Sang Rabb berkehendak lain, tiga hari setelah acara tahlilan almarhumah kakak perempuannya, ia kembali dihadapkan kepada suatu musibah yang membuat hatinya hancur berkeping-keping bagai batu karang yang terhempas oleh deburan ombak pantai. Tapi Bu Marsya mencoba tabah untuk yang kesekian kalinya, ia menerima khabar bahwa anak bungsunya (Ihsan) mendapati kecelakaan di sekolah sekitar pukul 10.00 wib. Kejadian itu terjadi ketika Ihsan mau menyeberang jalan saat pulang sekolah. Dan tiba-tiba dari arah berlainan seorang pengendara sepeda motor menerobos ke jalur kecil dan menabrak Ihsan di persimpangan jalan. Ia sedang dikepung polisi sebab ia tak mematuhi rambu-rambu lalu lintas. Dengan segera ihsan langsung dilarikan ke rumah sakit oleh warga setempat karena luka tersebut cukup parah dan perlu perawatan intensif dari dokter. Ihsan dibawa ke RSU Wonogiri dan ia dirawat disana selama sepuluh hari, ia memerlukan terapi khusus untuk penyembuhan luka yang menderanya.
***
            Malam harinya Bu Marsya bermimpi bahwa Tirani minta untuk tinggal di rumahnya selama tiga hari. Perasaan Bu Marsya semakin kacau dan tak terkendali. Malam telah pergi berganti fajar yang menghembuskan angin kencang sehingga membuat Bu Marsya terbangun dari tempat tidurnya. Ia segera menuju dapur dan memasak berbagai hidangan untuk keluarga tercintanya. Hari itu adalah hari Minggu banyak waktu luang untuk bersantai dan melepas segala kegundahan hatinya dengan mencurahkan isi hatinya kepada anak perempuannya.
“Riz, nduk.. kesini ah!”
“Ada apa bu’?” (dengan muka penasaran)
“Ibu mau ngomong sesuatu sama kamu nduk.”
“Ngomong apa bu’? ehm.. langsung aja, Rizta selalu siap mendengar cerita ibu’, apa sich yang engga’ buat ibu tersayangku ini..”
“Tadi malam ibu bermimpi bahwa Tirani datang kesini dan ia mau tinggal bersama kita nduk selama tiga hari.” (dengan nada pelan)
“Apa ?! ngga’ mungkin aku ngga’ mau tinggal bersama perempuan itu bu’ .”
“Tenang dulu nduk, ini hanyalah sekedar mimpi, belum bisa dibuktikan kebenarannya.”
“Tapi bu’... ibu harus tetap waspada dan jangan pernah menerima gadis itu apapun alasannya.”(tandas Rizta)
“Iya nduk, ibu tahu.. tapi semoga semua itu tidak menjadi kenyataan.” (dengan penuh harap)
“Amin... semoga Allah mengabulkan do’a ibu.”
***
            Suasana menjadi tenang, Rizta dan ibunya menjalankan kegiatan masing-masing. Mentari mulai menyingsing ke ufuk barat, panas terik yang menyengat tubuh membuat peluh keluar semakin besar. Panas kian menyusut dan hari semakin sore. Tiba-tiba ada seorang gadis belia yang bertamu ke rumah Bu Marsya, ternyata gadis itu adalah Tirani. Sontak Beliau kaget dan tidak mempersilahkan masuk tetapi langsung menuju ke kamarnya. Kemudian Tirani mendapat sambutan hangat dari Pak Karso dan ia langsung membahas tujuannya kesini adalah untuk tinggal bersama keluarga Pak Karso karena ia ingin segera sembuh dari penyakit yang ia derita. Pak Karso belum bisa memberi jawaban dan ia langsung menuju dapur untuk mengambil jamuan yang akan beliau berikan kepada Tirani. Tiba-tiba tangan Pak Karso lagi-lagi ditarik oleh isterinya untuk tidak memperbolehkan Tirani tinggal bersama keluarga mereka. Perbicaraan singkat tesebut telah menyadarkan Pak Karso untuk memberi keputusan yang tepat dalam masalah yang membelitnya. Kemudian beliau terpaksa melangkahkan kakinya keluar dan mengatakan bahwa keluarganya tidak bisa menerima Tirani untuk tinggal bersama keluarganya. Dengan berat hati keputusan tersebut diterima Tirani. Dari muka pucatnya terbesit kekecewaan yang teramat dalam usai keputusan pahit yang harus ia terima.
            Tetapi sehari setelah ia dari rumah Pak Karso kondisinya semakin drop, karena ia sekarang tidak lagi dirawat oleh Pak Karso. Beliau beralasan bahwa ia akan dinar ke luar kota selama dua pekan. Tetapi sebenarnya ia tidak pergi kemana – mana, ia hanya dipaksa isterinya untuk tidak menemui apalagi sampai merawat Tirani. Akhirnya waktu yang tengah dikhawatirkan datang dan secepat itu menjemput dan merenggut nyawa gadis belia itu. Akhirnya ia menutup mata untuk yang terakhir kalinya. Mengucapkan selamat tinggal kepada dunia untuk selamanya.
            Tak lama kemudian keluarga Pak Karso mendapat khabar duka bahwa Tirani telah meninggal dunia. Berita itu membuat Pak Karso Sedih hingga meneteskan air mata atas kepergian gadis belia itu. Tak luput dari tangis jiwa yang semakin terurai nyata, Bu Marsya juga turut berduka atas kepergian gadis itu, ia kecewa atas semua kesalahan yang telah melarang suaminya untuk tidak menemui Tirani namun takdir berkata lain, semua tak dapat di rubah karena ini adalah kehendak dari Yang Maha Kuasa. Apa yang terjadi maka terjadilah (KUN FAYAKUN). Akhirnya Bu Marsya  menyadari mungkin ini adalah jalan yang terbaik buat penyelesaian musibah keluarganya. Pak Karso juga telah sadar bahwa ia selama ini telah salah dan kurang memperhatikan keluarganya. Sekarang ia telah kembali sayang dan cinta kepada keluarganya. Keharmonisan kembali bersemi memberi berjuta keindahan nuansa sanubari yang kian terjalin keakraban yang mengantarkan kepada kebahagiaan sukmawi. MUTIARA KASIH telah melekat dalam hati insan nan suci.



==================================================================



SETETES EMBUN CINTA
 KARYA : AINI NUR K R

Mentari pagi telah tersenyum manja
Burung-burung bersenandung ria
Titik-titik embun di dahan-dahan rerumputan
Kabut tipis menyelimuti alam.

Suasana pagi yang menyejukkan hati membuat hati “NAYLA” semangat untuk melangkahkan kaki menuju ke sekolah tercintanya. Pagi itu keadaan kelas amat gaduh ketika jam kosong, ada sebagian anak yang tetap di dalam kelas, memanfaatkan waktunya untuk belajar di perpustakaan, dan ada pula yang jajan di kantin. Begitu pula dengan Nayla ia sedang asyik membaca novel di perpustakaan. Dia tak mau dikatakan sebagai anak brandalan, meski sosoknya disegani oleh tiap pria tetapi ia tetap girly and sporty. Dia adalah salah satu anggota osis di SMA KUMALA SARI. Wajahnya yang rupawan, serta pandai bereksplorasi membuat semua orang kagum dan terkesan dengannya. Banyak anak laki-laki yang menyukainya terutama “BENY” cowok terkeren dan paling tajir di sekolahannya. Sudah berkali-kali Beny mencoba untuk mendekati Nayla untuk menyatakan perasaan hatinya itu.
Suatu hari sekolah akan mengadakan kegiatan persami di sebuah desa kecil yang jauh dari hiruk pikuk lalu lintas perkotaan. Ketika waktu menunjukkan pukul 13.00 semua anak telah siap untuk memulai perjalanan bumi perkemahan yang jaraknya sekitar 20 km dari lokasi tersebut. Sesampainya di tempat perkemahan tersebut kami semua langsung mendirikan tenda masing-masing. Petangpun lenyap, berganti malam yang menghembuskan dingin ke setiap rongga tubuh dan membuat mereka semua terlelap dalam kegelapan malam. Namun tak terbayangkan di benak bahwa daerah yang mereka tempati untuk tidur itu aman-aman saja. Tiba-tiba dari balik tikar munculah segerombolan semut hitam yang mengganggu tidur mereka.
“Aw.. sakit, eh kamu cubit aku ya Zy?”
“Nggak Nay, masak aku mencubitmu? Aku dari tadi kan sudah tidur..huuaam.“
“ich..ought..”
“Apaan sih Rin dari tadi kok teriak melulu?”
“Ini lho aaaaaaaaaaa.. da semuuuuuuuut..”
“Huh iya, waduh gimana nih?!”
“Gampang sori lenga gas wae..”
“Maksudnya apa Nay?”
“Siramin saja pakai minyak tanah”
“o....... jadi gitu ya!”
“E.. heh, wong ndeso kok ra mudeng basane dewe.”
“Ya nggak gitu Rin, Fauzy kan pendatang dari suku toraja, maklum aja kalau nggak bisa.”
 “Wes aja eyel-eyelan wae, ndang diresiki panggonane ben semute podo mire.”
“Nggak usah kaget Zy, Rini itu kan orang Surakarta jadi bahasanya ya masih kejawen.”
“Ya ya ya”
“Udah bersih nih, ayo tidur lagi masih jam 2, besuk kita persiapan buat penjelajahan.”
“Oke”
            Pagi yang cerah, mereka telah beranjak dari tidurnya, mulai memasak untuk sarapan dan bersiap-siap untuk penjelajahan. Pukul sembilan tepat kegiatan hampir dimulai, namun ada beberapa anak yang harus standby di tenda untuk mengikuti perlombaan memasak, salah satunya adalah Nayla. Suasana menjadi hening saat semua anak telah berangkat untuk mengikuti kegiatan tersebut. Hanya terdengar tawa kecil dua cewek dari balik tenda yakni Nayla dan Fauzy, dari kejauhan telah tercium lezatnya aroma masakan mereka yang menggugah selera. Tiba-tiba Beny datang  dan mengejutkan mereka.
                “Hua..”
                “A..a..”
                “Ben, ngagetin aja kamu itu.. lho emangnya kamu nggak ikut penjelajahan?”
                “Nggak Zy, aku kan ikut lomba masak.”
                “He.. aku tahu pasti mau ketemu Nayla, iya khan?!”
                “Ehm, iy.. Eh Nay aku boleh bantu kamu masak nggak?”
                “Oh.. tentu silahkan..”
                Tak terasa canda mereka sampai tengah hari dan suatu ketika Beny mengatakan sesuatu kepada Nayla disela-sela perbincangan mereka bertiga yang membuat Nayla menjadi bingung.
                “Sayang, masakan kamu lezat sekali.” (Beny lari sambil membawa makanan buatan Nayla)
                “woey.. jnagan lari Ben........” (Nayla mengejar Beny dan melemparkan sandal kearahnya)
Pluak.. bug’s suara lemparan sandal Nayla yang bersamaan dengan jatuhnya makanan. Benypun akhirnya menghentikan langkahnya dengan nafas yang terengah-engah.
                “Tunggu Nay, diam disitu dulu.”
                “Emangnya ada apa Ben?”
                “Sudahlah kita duduk disini aja, sebenarnya aku mau ngomong sesuatu sama kamu Nay..”
                “Soal apa?”
                “Sebenarnya.. aku..” (dengan grogi ia mengatakan)
                “A.. ku..”
                “A..”
                “Apa sih Ben.. kamu kenapa?”
                “Aku say..”
                “Saya mau makan roti dulu, dah..”
                “Ngaco kamu ben, jangan buat aku makin penasaran dong.”
                “Aku cinta kamu”
                “Apa?”
                Nayla belum mengerti apa yang telah dikatakan Beny, dan tiba-tiba Heri muncul dihadapannya.
                “Hay Beb, ngapain kamu disitu?” (dengan tampang curiga)
                “Hai juga Beb, aku lagi ngomong-ngomong sama Beny, emangnya kenapa beb?”
                “Em.. nggak apa-apa”
                “Oh ya gimana masakan kamu beb? Wah pasti enak ya! Hum.. baunya harum, aku boleh nyobain gak beb?’
                “Iya tentu boleh dong beb!”
                Beny terus diam melihat meeka berdua asyik berbincang-bincang, namun hati kecilnya menjerit dan ingin sesekali menangis karena ternyata orang yang ia sukai selama ini sudah dimiliki oleh orang lain. Dia beruasaha menahan emosi yang ingin meledak dari dalam jiwa.
                “Hei Ben, kenapa tuh muka kau tekuk begitu?”
                Tanpa basa-basi dan tanpa bicara sepatah katapun Beny langsung pergi dari hadapannya dan menuju ke tenda dengan hati terluka. Heri dan Nayla terus bercanda ria di bawah pohon dan melahap makanan tadi.
            Tak terasa hangatnya mentari telah sirna, burung-burung terbang menuju sarang. Senjapun lenyap ditelan dewi malam. Semua anak beramai-ramai menuju mushola untuk melaksanakan ibadah sholat maghrib dan isya’ berjamaah. Usai sholat mereka bersantai di teras masjid. Banyak anak yang pergi ke warung untuk membeli makanan ringan, dan minuman hangat untuk mengisi perut mereka yang keroncongan. Heri mendapat sambutan hangat dari Nayla berupa wedang jahe dan roti bakar yang nikmat. Sayangnya Nayla tak tahu bahwa sejak tadi Beny memperhatikannya dan menahan rasa cemburu yang amat. Fauzy berusaha menghibur Beny yang mukanya merah padam seperti api yang berkobar.
                “Hai Ben, minumlah ini ada wedang kopi.. enak lho!”
                “Iya Zy makasih”
                “Ada apa sih Ben dari tadi tampangmu cemberut terus?”
                “Nggak Zy, aku cuma gak enak badan aja, bete’, sebel.”
                “Hayo.. ketahuan nih pasti lagi patah hati ya?”
                “Enggak, sama siapa?”
                “Siapa lagi kalau bukan Nayla, si gadis cantik jelita”
                “Ah.. ada-ada aja kamu Zy”
                “Udah deh gak usah muna kamu itu, akuin aja kalau kamu memang suka sama Nayla”
                “Ya memang aku suka Nayla bahkan cinta mati sama dia, aku tak bisa hidup tanpanya, dan aku tak bisa menerima semua ini, hatiku hancur Zy..”
                “Well.. aku tahu apa saat ini yang tengah kau rasakan, tapi apakah kau mau merusak hubungan mereka berdua?!”
                “Biaralah, aku tak perduli, pokoknya aku sekarang mau bertemu sama Nayla.. titik..!”
                “Ben, jangan kamu lakukan ! Hal itu tambah memperunyam suasana aja.”
                “Udah lah kamu gak berhak atur gue Zy, gue tahu mana jalan yang terbaik untuk menyelesaikan masalah gue sendiri.”
                “so.. guys aku tak bisa menghentikan langkahmu lagi cuy..”
                Ketika  semua anak telah kembali ke tempat perkemahan untuk melakukan kegiatan malam yakni penyalaan api unggun. Dan tiba-tiba Beny menarik tangan Nayla sehingga ia jatuh kepelukan Beny.
                “Hei Ben apa yang loe lakuin? Kurang ajar banget loe!” (bentak Heri)
                “Nggak papa ya Nay, gue kan sayang ama Nayla.. Gue cuma kangen ama kamu Nay..”
                “Ah, Beny lepaskan, tolong lepaskan!”
                “Oh Nayla, wahai wanita pujaan hatiku.. Sayang gue gak bakalan lepasin loe sebelum loe teriak (“Beny.. aku cinta kamu”) ha ha ha.”
                “Harrrrrgh.....biadab loe Ben” (Heri langsung meninju wajah Beny)
                “Apa loe ikut campur bro, mau tantangin gue tarung?! Oke silahkan.. demi Nayla aku siap menerima apapun resikonya.”
                “Ayo, siapa takut!”
                Sementara itu ada siswa lain yang melaporkan pertengkaran tersebut kepada salah seorang guru. Dan akhirnya mereka berdua diberi hukuman karena telah mengganggu penduduk sekitar yang sedang beristirahat. Fauzy mengajak kembali ke tenda dan mencoba menenangkan Nayla yang merasa syok berat atas kejadian tadi.
                “Minumlah air ini Nay, agar kamu bisa tenang kembali.”
                “Iya Zy, terimakasih banyak dah ngerepotin kamu.”
                “Udah Nay gak papa, sebenarnya gue tuh kasian lihat loe diperebutkan oleh dua cowok.”
                “Ayo Zy, acara hampir dimulai ntar keburu telat lho.”
                “Siap bos!”
                Kegiatan telah dimulai api unggun menyala seraya menyambut malam yang penuh kegembiraan, Nayla mementaskan pensi dengan menyanyikan sebuah syair lagu bersenandung cinta diiringi dengan gitar Heri. Hati Beny semakin hancur melihat mereka berduaan dekat api unggun. Diapun tak mau kalah dalam pentas seni tersebut, ia akan mencurahkan segala isi hatinya lewat sebuah puisi.
            “Inilah dia mari kita sambut sangga II pa kelompok *merpati* yang akan diwakili ole Beny Cahyadi dengan karangan puisinya”

                                >>BARA API CINTAKU<<

            Dalam kelam
            Gemerlap malam
            Di bukit-bukit barisan
            Kutorehkan wajah
            Meniti langkah kecil
            Merangkak dalam kegalauan
            Mimpi tlah musnah
            Terbelah gelas kaca merah
            Panahmu menikam jantung
            Pisaumu menyayat jiwa
            Dalam duka
            Dalam luka
            Cinta yang layu
            Hangus
            Dalam kobaran api
            Cinta..
            Cinta..
            Racun hatiku

                Puisi yang telah dibacakan Beny mendapat tepuk tangan meriah dari semua orang, semua penonton terpukau melihat penampilannya, dan Naylapun akhirnya bisa meneteskan airmata karena ia meresapi kata demi kata yang Beny baca. Ia tahu dan sadar bahwa betapa besar cinta Beny untuknya. Namun baginya Beny akan menjadi sahabat terbaiknya.
                “Nay..hello kenapa kamu menangis?”
                “Zy..aku terharu dengan puisi yang dibacakan Beny tadi, mungkin dia sengaja membuat puisi ini agar aku mau menerima cintanya. Tapi mengapa harus aku, apakah tiada cewek lain yang lebih baik daripada aku..”
                “Begini Nay, dia itu menganggap kau adalah segalanya, kaulah yang paling berharga untuknya, karena dia cinta mati ama kamu Nay. Sebenarnya dia.. ..”
                “Ada apa dengan Beny?”
                “Kelak kau kan mengetahuinya”
                Tanpa sengaja Heri mendengarkan percakapan mereka berdua, dan mencari tahu ada apa gerangan yang sebenarnya terjadi dengan Beny. Heripun telah mengetahui khabar bahwa Beny menderita kanker hati yang sudah parah. Dia berupaya untuk merahasiakan berita ini dari Nayla dan Fauzy.
            Malam telah larut, semua anak-anak telah kembali ke tenda untuk beristirahat dan melepas lelah. Bulan purnama bersinar terang, kerlip bintang menghias langit. Malampun lenyap berganti fajar, terdengar lantunan ayat-ayat suci Alqur’an bergema dari batas-batas pedesaan. Tabuh berbunyi gemparkan alam sunyi berkumandang suara adzan, mendayu memecah sepi selang seli sahutan ayam, anak-anak telah terbangun dari tidurnya dan segera melaksanakan sholat shubuh berjamaah. Selesai sholat mereka melakukan senam pagi, dan membersihkan tempat disekitar tenda. Ketika semua barang sudah dibereskan mereka semua bergegas untuk pulang.
            Setelah sampai rumah hati Nayla tak tenang, ia terus memikirkan Beny, ia masih penasaran dengan apa yang diucapkan fauzy. Dia tahu bahwa sebenarnya Beny mencintainya dengan sepenuh hati, namun ia tak bisa meninggalkan Heri begitu saja yang telah lama menjadi bagian dari hidupnya. Esok hari Nayla terkejut sesaat mendengar khabar bahwa Beny masuk rumah sakit gara-gara kanker hati yang telah lama ia derita. Tanpa fikir panjang ia langsung menuju ke rumah Fauzy dan mengajak ke RS Puspita.
                “(Tok tok tok) Assalamu’alaikum”
                “Wa’alaikumsalam, eh nak Nayla.. ada apa Nay?”
                “Maaf Bu, Fauzynya ada apa tidak Bu?”
                “Iya, sebentar ya nak. Zy, Fauzy dicari teman kamu tuh, Nayla.”
                “Iya bu.”
                “Mari, silahkan masuk nak.”
                “Iya bu, terimakasih.”
                “Ada apa Nay, pagi-pagi begini kamu dah kerumahku?”
                “Aduh Zy, gawat zy..”
                “Apanya yang gawat?”
                “Beny masuk rumah sakit!”
                “Benarkah?!”
                “Iya, maka dari itu aku ke rumahmu.”
                “Baiklah kalau begitu, ayo kita kesana sekarang juga!”
                “Ayo..”
                Nayla sangat khawatir dengan kondisi Beny yang semakin kritis, dokter memfonis bahwa dia hanya bisa bertahan selama satu hari saja. Sampai disana Nayla menangis, tetesan air matanya semakin deras. Ia meminta maaf kepada Beny kalau ia pernah berbuat salah kepada Beny.
            “Ben, maafin aku ya kalau selama ini aku pernah berbuat salah sama kamu”
            “Nggak Nay, kamu gak salah cukup aku yang merasakan semua ini, aku tak ingin melihat kau bersedih.”
            Keesokan harinya Nayla dikejutkan kembali dengan adanya secarik kertas yang berisi pesan terakhir dari kekasihnya Heri.


            To : Nayla

            Sayang.. aku hanya ingin mengucapkan sesuatu sama kamu, karena setelah kau baca surat ini mungkin kita tak bisa bertemu lagi. Kumohon jagalah baik-baik si Beny dan cintailah dia serta sayangilah dia layaknya kau mencintai dan menyayangiku..
Aku tak ingin persahabatan kita berempat berakhir dikarenakan cinta..
Aku ingin ia bahagia bersanding denganmu dan berada disisimu selamanya nanti..
Aku harap engkau tak kecewa dengan pernyataanku ini sayang..

                                                                                                            Tersayang
                                                                                                                 H3R!         


                Nayla tak tahu apa maksud dari isi surat Heri tadi. Ia semakin bingung dengan masalah yang dihadapinya saat ini. Ia segera menuju ke rumah sakit dan memastikan keadaan Beny. Sontak ia terkejut melihat Beny sembuh dan Heri terbaring diatas kasur dengan badan yang sudah layu. Ia tercengang beberapa saat dan memandangi Heri, ia tak percaya bahwa yang ia tatap adalah wajah Heri. Ia sangat terpukul dan menjerit-jerit tidak karuan memanggil nama Heri.
                “Heri..!!”
“Heri kau tak mungkin mati, kau telah berjanji bahwa sehidup semati bersamaku.”
“Tenang Nay, tenang!”
“Tenang gimana? Heri aku akan menyusulmu..”
“Istighfar Nay, istighfar.”
“Beny!! Kau apakan Heri hingga ia tak bisa bangun lagi?”
“Sabar Nay, aku tidak melakukan apapun kepadanya, tadi ketika aku merasa bahwa waktuku tak lama lagi.. akupun tidur panjang, dan tiba-tiba aku telah sadar dan terbangun dari tidurku akupun tak tahu mengapa Heri berbaring di sebelahku.”
“Begini Nay, sebenarnya Heri menitipkan surat kepadaku sebelum ia mendonorkan hatinya kepada Beny, apa mungkin suratnya telah kau baca tadi pagi?”
“Iya Zy memang aku telah membaca surat itu, tapi mengapa kau tak bilang yang sebenarnya kepadaku?”
“Maafkan aku Nay, aku tak bermaksud merahasiakan semua ini darimu, ketahuilah bahwa didalam persahabatan tidak ada yang tertutup, kita semua terbuka tetapi keadaan yang memaksa untuk kita memilih jalan ini.”
“Baik Zy, aku mengerti Heri rela mengorbankan nyawa demi orang yang ia cintai dan menjaga keutuhan persahabatan kita, tapi mengapa harus dia?!”
“Aku tahu kamu pasti berat menerima semua ini, tapi ini adalah kehendak Allah karena mungkin ini adalah jalan yang terbaik buat kita semua. Kau ditakdirkan untuk bersama Beny maka jagalah ia selayaknya kau dengan Heri. Jangan terlalu larut dalam kesedihan, karena Heri juga semakin berat meninggalkanmu.”
“Iya Zy, terimakasih atas nasihatmu.”

Akhirnya Nayla bisa menerima Beny sebagai pengganti kekasihnya yaitu Heri. Nayla yang ceria akan selalu tetap ceria, kenangan bersama Heri tak kan terhapus meski waktu terus berputar dan tergerus arus zaman. Ia akan bahagia bersama Beny karena didalam hati Beny terdapat hati Heri dan disitulah bersemi cinta Nayla.

 ==================================================================


 KUTITIPKAN CINTAKU PADAMU

karya : Ajeng Eka P

    Tetesan embun pagi mulai menyapa bumi, tetesan yang senantiasa membawa butiran-butiran cinta pada seluruh umat manusia di bumi. Tapi sinar matahari agaknya masih enggan memberikan sinar hangatnya, pada dunia. Kendati seperti itu, seperti biasanya Asya, gadis remaja yang memiliki paras yang begitu manis telah bangun dengan harapan-harapan baru dalam hidupnya dipagi itu. Ia bangun dengan senyum mengembang di bibirnya, terlihat di sana lesung pipit di pipinya menambah pesona wajahnya yang begitu menawan.
    “Bismillahirrahmanirrahim, semoga hari ini lebih baik dari hari-hari kemari.” ucapnya lirih lalu berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat subuh seperti biasanya. Setelah shalat ia lanjutkan berdzikir dan membaca Al-Qur'an.
    Tak terasa sang surya telah menyembulkan cahayanya. Menembus fentilasi-fentilasi kamar Asya dan mengenai wajah manis Asya yang masih membaca Al-Qur'an.Terlihat begitu manis sekali. Lalu dia mengakhiri mermbacanya dan segera mengambil handuk untuk mandi. Asya sekarang duduk di kelas XII IPA 1 di sebuah sekolah negeri di kota Solo. Sebenarnya dia tidak tinggal bersama orang tuanya, tapi dia tinggal besama tantenya. Asya berasal dari sebuah desa kecil di Semarang. Ibu dan Ayahnya sengaja menitipkan Asya pada tantenya karena ibunya beranggapan pendidikan di sana jauh lebih baik.
    “Asya...ayo cepat turun,,, sarapannya sudah siap sayang....” panggil tantenya di balik pintu kamarnya.
    “Iya tante,, Sebentar lagi Asya turun. “ sambil cepat-cepat merapikan jilbabnya.
    Tak  berapa lama kemudian mereka telah berada di ruang makan. Tante dan omnya belum mempunyai momongan, tak ayal Asya begitu di sayang oleh keduanya, walaupun begitu Asya tidaklah gadis manja, dia di sini belajar utuk mandiri dan itu yang membuat om dan tantenya semakin bangga dan semakin menyayanginya.
    “Sya...hari ini kamu berangkat bareng om saja ya? Jangan naik angkot, soalnya hari ini kelihatannya akan macet. Kalau naik motor kan lebih cepat sampai Sya...” kata Om Danu.
    “Em....baiklah Om...saya ikut saran Om saja.”
    Jam 06.30 om Danu dan Asya berangkat yang sebelumnya berpamitan dahulu dengan tante Lia. Benar kata om Danu jalanan macet total itu dikarenakan adanya perbaikan jalan. Asya akhirnya sampai   di sekolah 15 menit sebelum bel masuk. Disepanjang lorong-lorong kelas tak sedikit anak laki-laki yang menyapanya. Mereka begitu tertarik pada kecantikan, kecerdasan, dan yang terpenting adalah keshalihannya.
    “Selamat pagi Asya......” sapa salah seorang teman laki-lakinya.
Dengan ramah dan senyum yang menawan ia pun membalas sapaan teman-temannya tersebut.
    “Selamat pagi....” ia lalu cepat berlalu menuju ruang kelasnya.

                            ***

    Di sekolah Asya menggunakan sistem pembelajaran “Moving Class” dimana setiap mapel mempunyai ruang tersendiri. Jadi setiap ganti jam pelajaran, maka siswa akan berpindah kelas sesuai dengan mapelnya. Kali ini Asya berada di ruang Bahasa Inggris. Dia duduk sebangku dengan Risma sahabatnya sejak kelas XI dulu.
    ''Sya.... ada fansmu lagi nih yang nitip surat buat kamu.” kata Risma dengan muka kesal, soalnya setiap pagi dapat titipan surat dari fans-fansnya Asya.
Asya tersenyum lalu mencubit ujung hidung Risma dengan gemas, tapi dengan segera Risma menepis tangan Asya.
    “Jangan cemberut gitu dong Risma sayang....ini kan juga bukan kemauanku.” kata Asya sambil mengambil surat dari tangan Risma. Sperti biasa pula tanpa dibaca sedikitpun dia langsung merobek surat itu dan memasukkannya di tempat sampah.
    “Sudah ku duga selalu saja begitu. Kenapa sich kamu nggak pernah nanggepin orang-orang yang berusaha mendekatimu?” tanya Risma penuh selidik.
    ''Atau jangan-jangan kamu sudah punya pacar ya???”
dengan segera Asya menimpuk Risma dengan bukunya seraya berkata:
    “Ngaco kamu Ris, siapa juga yang punya pacar. Tujuanku datang di kota ini itu bener-bener ingin serius belajar, nggak ingin main-main.''
    “Ya...siapa tau aja tho. Hehehe peace!”
    “Ahhhh tersrah kamu lah...” kata Asya tak mempedulikan ocehannya Risma yang dilihatnya sambil cengengesan.
    Pelajaran terus berlanjut walaupun hari semakin siang semangat belajar Asya masih begitu luar biasa. Tidak seperti teman-temannya yang lain yang sudah mulai bosan dengan materi yang disampaikan oleh gurunya.
    Akhirnya jam pelajaranpun berakhir. Bel pulang sekolah juga sudah berbunyi dengan semangat luar biasa yang berbeda dengan saat jam pelajaran tadi, semua siswa mengemasi semua peralatan sekolah dan bergegas meninggalkan ruang kelas. Tapi Asya dan Risma masih berada dalam ruang kelas.
    “Sya... mau pulang bareng nggak???? Hari ini ada yang  baik hati ingin nganter kita pulang lho...” ajak Risma.
    “Em...siapa???” tanya Asya agak tidak antusias, karena memang dia sama sekali tidak tertarik dengan ajakan Risma.
    “Alyas.”
    Deg.
Tiba-tiba jantung Asya berdegup kencang saat mendengar nama itu.
    “Alyas????” tanya Asya masih tak percaya.
    “Iya Alyas, kaget ya???? orang seganteng, sebaik, sepinter, dan sepopuler dia mau nganteri kita pulang????hehehe”
    “I..i..ya”
    “kenapa kamu jadi gugup begitu??? hayo kenapa?????”
    Asya tak mengerti mengapa setiap mendengar nama Alyas jantungnya berdegup kencang, seperti ada bom yang meledak dalam dadanya. Entah apa yang sedang ia rasakan. Tapi cepat-cepat ia menepis perasaannya itu jauh-jauh.
    “Apaan sih  nggak papa.” elak Asya dengan wajah yang mulai memerah.
Di sampingnya Risma masih senyum-senyum sendiri.
    Tak lama kemudia ada sorang cowok yang masuk ke dalam ruang kelas dan menyapa mereka.
    “Hai Asya, Risma...” sapa cowok itu pada mereka berdua.
    “Hai juga Alyas...”
    Alyas masuk ke dalam ruangan. Entah karena apa Asya jadi salah tingkah. Dia lebih banyak diam sambil menundukkan kepalanya untuk menutupi rona merah di wajahnya.
    “Gimana mau pulang sekarang??” tanya Alyas.
    “He'emb...lagian sudah jam segini, kami juga belum shalat dhuhur.”
Asya masih saja tetap diam, sekilas Alyas memandangi wajah manis Asya. Alyas tidak dapat membohongi dirinya sendiri kalau dia juga tertarik pada gadis ini. Alyas memberanika diri untuk bertanya pada Asya:
    “Kamu kenapa Sya??? kamu sakit????”
    “Em...eh...ahh... nggak kok, aku baik-baik saja.” jawab Asya lirih dengan degupan jantung yang semakin tak karuan.
    “Ya sudah ayo pulang sekarang??” kata Alyas sambil keluar ruangan, dua gadis itu mengikuti dari belakang.
                            ***
Sesampainya di rumah, Asya langsung masuk kamar dan segera mengambil air wudhu untuk melaksanakan shalat dhuhur di kamarnya. Setelah shalat, dzikir, dan membaca Al-Qur'an dia kembali bermunajad kepada Allah Azza wajalla.
    “Ya Allah hamba kembali bersimpuh dihadapanMu. Engkau Maha Memberi nikmat. Selamatkanlah hamba dari godaan syetan di bumi dan di akhirat kelak. Engkaulah tempatku mengadu, tempatku mencurahkan segala gundah di relung hati hamba. Ya Allah hamba tidak mengerti tentang sebuah perasaan yang hinggap di hati hamba saat ini Ya Allah. Perasaan yang tidak pernah hamba alami sebelumnya. Apakah ini yang dinamakan cinta??? Ya Allah jagalah hati hamba dari segala hal yang dapat mengurangi rasa cinta hamba padaMu. Tuntunlah hamba pada jalan kebenaranMu. Dan curahkanlah kasih sayang pada hamba agar hamba senantiasa mengingat kepadaMu. Amin. Amin. Amin ya robbal alamin.”
    Betapa tenangnya hati Asya setelah mencurahkan gundah gulananya kepada Sang Pencipta Cinta.
     Malampun tiba. Bintang-bintang memancarkan sinarnya dan bulanpun mendapatkan sinar pantulan dari bintang. Sungguh maha Dahsyat Kuasa Sang Khaliq menciptakan pemandangan yang begitu indah. Mereka semua seolah-olah ingin menyampaikan ucapan selamat malam pada Asya yang telah duduk di teras menikmati indahnya pemandangan langit. Malam ini hatinya terasa bahagia entah karena apa. Tiba-tiba tantenya duduk di samping Asya dan membuyarkan lamunan Asya.
    “Apa yang sedang kamu pikirkan sayang???” tanya tante Lia dengan lembut.
Asya lalu memeluk tantenya dengan penuh kehangatan kasih sayang.
    “Entahlah tante, mungkin aku lagi kangen sama ayah dan ibu di desa.” jawaban dengan nada sedih.
Tante Lia membelai rambut Asya dengan penuh sayang seraya berkata
    “Sayang...Tante yakin, ayah dan ibumu di desa juga sangat merindukanmu. Bukankah mereka aka datang saat acara perpisahanmu?? Mereka akan bangga sekali melihat putri tunggalnya naik ke atas panggung sebagai lulusan terbaik.”
    “Iya tante,, amien.”
Mereka larut dalam keindahan malam itu.
    Di lain tempat Alyas tak dapat memejamkan matanya sedikitpun. Di fikirannya hanya ada bayangan Asya.. Dia menyadari bahwa dia telah jatuh cinta pada gadis itu. Alyas tak mampu menahan perasaannya ini, sangat tersiksa bila dipendam terlalu lama. Dia bertekad untuk mengungkapkannya saat acara perpisahannya nanti.
                            ***
    Pagi yang cerah, kicauan burung menambah semaraknya pagi ini. Hembusan angin pagi yang begitu segar serasa membangkitkan semangat baru buat Asya untuk tetap belajar. Tak terasa langkah kakinya telah sampai di depan kelasnya. Namun ia tidak melihat Risma yang biasanya datang lebih dulu darinya. Dia meletakkan tasnya lalu mengambil novel dari dalam tasnya yang belum selesai dibaca. Baru saja membuka dia dikejutkan oleh panggilan seorang temannya.
    “Assalamualaikum Asya...sorry ganggu sebentar. Aku cuma mau kasih tau kamu dipanggil kepala sekolah sekarang juga di ruangannya.” lalu pergi terburu-buru entah karena apa.
Tanpa berpikir panjang Asya langsung berjalan menuju ruang kepala sekolah yang letaknya tak jauh dari kelasnya.
    “Assalamualaikum.” kata Asya saat sampai di ruang kepala sekolah.
    “Waalaikumsalam, silakan masuk.”
    Asya mengambil tempat duduk di depan meja kepala sekolah.
    “Terima kasih Bu.. em...maaf ada perlu apa Ibu memanggil saya ke mari???” tanya Asya penasaran.
    “Begini Sya selama ini ibu berpandangan kamu adalah murid terpandai di sekolah ini.”
    “Ahhh Ibu terlalu memuji. Ilmu saya masih terlalu dangkal Bu.” kata Asya rasa penuh kerendahan hati.
    “Selain cantik dan cerdas, kamu juga rendah hati ya. Langsung saja, Ibu di sini ingin memberi tahumu bahwa kamu mendapatkan bea siswa untuk kuliah di MGU (Moskovskyj Gosudarstvennyj Universiteitimeni Lomonosova), Rusia. Ibu rasa kamu yang paling tepat mendapatkan bea siswa ini.” kata Ibu kepala sekolah menjelaskan panjang lebar.  
    Serasa bumi tak dapat dipijak oleh telapak kaki Asya. Ini sungguh anugerah yang amat sangat luar biasa yang telah diberikan Allah kepadanya. Matanya berkaca-kaca, dan mulai meneteskan butir-butir mutiara kebahagiaan dari kedua pelupuk matanya.
    “Subhanallah....benarkah itu Bu??????? MGU adalah Universitas palng hebat di Rusia dan saya dapat kesempatan menimba ilmu di sana.” katanya dengan suara serak menahan air mata kebahagiaan yang terus mengalir di pipinya.
    “Ya Sya..bersyukurlah pada yang Maha memberi Nikmat. Kamu dapat langsung berangkat setelah pengumuman kelulusan nanti. Dan kamu tidak perlu khawatir semua biaya administrasi akan di tanggung sekolah.”
    Setelah berbicara panjang lebar akhirnya Asya keluar dari ruang kepala sekolah dengan perasaan senang tiada terkira.
                            ***
    Tak terasa UAN telah dilewati dengan lancar, kini tiba saatnya untuk acara perpisahan. Berita tentang Asya yang mendapatkan bea siswa ke Rusiapun telah terdengar oleh semua siswa, tak terkecuali Alyas. Ia tak tahu, ia harus bahagia atau sedih. Kenapa sedih??? ia tidak akan lagi bisa bertemu dengan gadis yang dicintainya itu. Dia juga bingung dan menjadi ragu apa dia harus mengungkapkan perasaannya pada Asya? Tapi dia akan lebih tersiksa bila tidak mengungkapkannya, karena dia tidak akan tahu bagaimana perasaan Asya terhadapnya. Dia rasa, dia harus mengungkapkannya.
    Di samping itu, setelah mendapat kabar dari kepala sekolah, Asya semakin sering online untuk mencari informasi tentang MGU. Dia sekarang juga berteman dengan salah satu mahasiswa MGU yang siap membantunya saat belajar di sana. Mereka berkomunikasi lewat e-mail, nama mahasiswa MGU itu Stevanie. Suatu ketika Asya mengirim e-mail kepada Stevanie.
        Dabro dent1, Stevanie???
        Kak dela???2
        Semoga kamu di sana baik-baik saja.
        Vanie,, aku sudah menyelesaikan UANku, kini tinggal menunggu pengumuman saja.
        Doakan ya..supaya nilaiku memuaskan dan daoat membanggakan orang tuaku.
      
        Vanie, sudah tak sabar rasanya aku ingin segera berangkat ke Rusia.
        Ingin bertemu denganmu dan belajar bersamamu. Aku sangat butuh bersamamu untuk             mengenal Rusia.
        Vanie sudah dulu ya, nanti kalau aku akan berangkat kamu akan ku kabari lagi.
        Da Svidaniya!3
        Spasiba balshoi!4

Selamat siang Stevanie?1
Apa kabar2
Sampai jumpa3
Terima kasih4

Beberapa hari kemudian Stevanie membalas e-mail Asya

        Dabro dent, Asya!
        Ya Vso Kharasyo!5
        Ya...aku di sini selalu mendoakan yang terbaik untukmu.
        Sya..aku senang bisa berkenalan denganmu.
      
        Sya..aku juga sudah tidak sabar bertemu denganmu.
        Aku janji, jika kamu telah sampai di Rusia, aku akan mengajakmu dan mengenalkan             Rusia kepadamu. Tentunya aku akan mengenalkan MGU kepadamu.
      
        Aku akan menunggu kedatananmu Asya.
        Zhelayu uspekha!6
                        ***
Hari perpisahanpun telah tiba, semua sswa berkupul di aula dan ternyata hasil UAN tahun ini sangat membanggakan. Semua siswa lulus tanpa terkecuali dengan hasil yang memuaskan. Dan persis dugaan semua siswa bahwa nilai tertinggi diraih oleh Asya Lailatul Ismy. Betapa bangganya Ayah dan Ibu Asya melihatnya naik ke ats panggung menerima penghargaan sebagai siswa terbaik tahun ini.  
    “Sya Ibu sangat bangga sekali denganmu, kamu dapat menjadi lulusan terbaik di sekolahmu.”
    “Ini semua juga tidak lepas dari do'a Ayah dan Ibu di rumah. Oh ya Bu..Ibu dan Ayah akan tinggal beberapa hari tho di Solo sampai Asya berangkat ke Rusia nanti?”
    “Iya nak..kami ingin mengantarkanmu menuju masa depan yang lebih baik.” kata ayahnya sambil tersenyum, lalu mereka bertiga berpelukan. Acara belum selesai, tapi Ayah dan Ibu Asya ingin cepat pulang ke rumah tante Lia untuk beristirahat.    Saat Asya tengah duduk sendiriandi taman, tiba-tiba ada yang menghampirinya dan membuyarkan lamunannya.
    “Assalamualaikum Asya...”
    “Waalaikumsalam. em..eh..Alyas.” Asya kaget bukan kepalang, karena yang datang adalah Alyas.   Jantungnya mulai berdegup kencang tak menentu.
    “Boleh duduk di sampingmu??”
    “Bo..boleh”
Untuk beberapa saat mereka diam. Alyas tak tahu untuk memulai pembicaraan dari mana. Lalu akhirnya dia bertanya pada Asya.
    “Sya kapan kamu berangkat ke Rusia??”
    “Em..Insyaallah besok lusa aku sudah berangkat.” jawabnya lirih dengan kepala tetap ditundukkan.
    “Oo...Sya,, aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu.” kata Alyas dengan jantung tak kalah kencang degupannya.
    “Apa?”
    “Em..Sya aku telah jatuh cinta.”
Spontan Asya memandang mata Alyas mencari kebenaran dari perkataannya tadi seraya bertanya.
    “Siapa gadis yang beruntung itu yang telah memikat hatimu?”
    “Dia..dia..adalah Asya Lailatul Ismy. Sya maukah kamu menjadi bunga jiwa di hatiku?”
    Asya tak tahu harus menjawab apa. Dia bingung dengan perasaannya. Ya, dia mengakui dia benar-benar mencintai Alyas. Tapi  dilain sisi dia akan berangkat ke Rusia untuk meneruskan studynya. Dan dia tidak mungkin berhubungan long distance apabila ia menerima Alyas sebagai kekasihnya.

Aku baik-baik saja5
Semoga sukses6

    “Yas..beri aku waktu. Temui aku besok lusa siang di bandara. Aku akan memberimu jawaban atas pertanyaanmu.”
kata Asya tenang lalu meninggalkan Alyas yang duduk termenung dengan sejuta kegelisahan dalam hatinya.
                        ***
    Malam ini jarum jam serasa lama sekali berputar. Sudah berulang kali Asya mencoba memejamkan matanya, tapi dia tak dapat terlelap untuk berlayar di dunia mimpi. Hatinya sedang gelisah. Memikirkan kata-kata Alyas tadi siang. Fikirannya tak dapat lepas dari bayangan Alyas. Dia memutuskan untuk shalat malam dan Istikharah agar ia cepat memutuskan keputusan yang terbaik untuk dirinya dan Alyas.
    Setelah shalat ia melanjutkan membaca Al-Qur'an. Asya membaca surat Ar-Rahman, ia begitu menyukai surat itu
        Fabiayyi ala irabbikuma tukadzdziban.
        “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”
Makna ayat itu begitu merasuk kedalam relung hatinya. Ia ulangi berkali-kali ayat itu. Air matanya tak mampu dibendungnya, sehingga membasahi mukena yang dipakainya.
    Asya kembali mengadukan kekaludan hatiny kepada Allah yang Maha Tahu tentang apa yang ada di bumi dan di langit.
        Ya Allah yang Maha Tahu, bimbinglah hati ini, jiwa, raga ini agar tetap selalu berada di             jalanMu. Ya Allah berilah hamba petunjuk, untuk menentukan keputusan yang teramat             berat ini. Kau telah menganugerahkan sekeping cinta kepadaku. Sekeping cinta yang             akan ku berikan hanya kepada seorang saja. Tapi jika engkau tidak mengijinkan hami             untuk bersatu di dunia ini, maka izinkan kami untuk bersatu di taman firdausMu kelak.             Ya Allah Tuhan Yang Maha Memberikan Pertolongan ku titipkan cintaku kepadaMu.             Cinta yang akan ku raih di kehidupan yang lebih bahagia dan kekal. Amin Ya Robbal             Alamin.
                            ***
    Hari yang di tunggu-tunggu telah tiba. Hari penuh dengan impian untuk masa depan. Tapi juga akan penuh dengan linangan air mata Asya telah siap, dia mengenakan jilbab dan pakaian yang serasi. Begitu terlihat sangat anggun dam lebih dewasa. Asya diantar ke bandara oleh Ayah, Ibu, Tante Lia, dan Om Danu.
    Pesawat Asya take offdiperkirakan pukul 10.00 WIB. Tapi pukul 09.00 Asya dan keluarganya telah sampai bandara.
    “Asya sayang..kamu jaga diri baik-baik ya di sana?” kata ibunya sedih
    “Ibu Asya janji, Asya akan sering mengirim kabar.” katanya sambil memeluk kedua orang tuanya.
Tak lama kemudian Risma dan Alyas hadir di tengah-tengah mereka.
    “Asya?” panggil Alyas.
Asya buru-buru mengusap air matanya dan mencoba tersenyum ke arah Alyas dan Risma.
    “Hei kalian?”
    “Sya..kalau sudah sampai sana jangan lupa kasih kabar ke aku ya? Dan jangan lupain aku. Satu lag, kalau pulang bawain satu cowok bule buuat aku ya?” canda Risma yang mengundang tawa semua orang yang ada di sana. Risma tahu Alyas dan Asya ingin membicarakan suatu hal yang sangat penting, sehingga Rismamengajak keluarga Asya untuk meninggalkan mereka berdua.
    “Sya..kau janji hari ini sebelum kamu berangkat akan memberikan jawaban kepadaku.”
Asya menarik nafas panjang lalu berkata
    “Iya Yas,, aku akan memberikan jawaban yang terbaik untuk kita berdua sekarang juga.”
Jantung Alyas semakin berdegup kencang. Dia telah siap dengan kemungkinan yang akan terjadi.
    “Jadi?”
Sekali lagi Asya menarik nafas panjang, merangkai kata-kata yang harus diucapkan.
    “Kamu orang yang baik, pinter, populr, dan ku akui kamu juga ganteng. Tapi yang terpenting kamu orang yang sholeh. Tapi maaf, ku tak bisa menerimamu. Jujur aku sebenarnya juga mencintaimu. Tapi Allah belum menghendaki kita untuk bersatu. Jarak dan waktu yang memisahkan kita. Kita juga tidak mungkin berhubungan jarak jauh. Kamu di Indonesia sedangkan aku di Rusia. Tapi ketahuilah kalaupun kita tidak ditakdirkan untuk berjodoh di dunia, mungkin Allah menjodohkan kita di surga.”
Alyas tak dapat berkata apa-apa, dia hanya bisa diam. Ada benarnya juga perkataan Asya. Kalau mereka berjodoh mereka akan dipertemukan kembali dalam suasana yang lebih membahagiakan.
    Sebenarnya hati Asya juga tak sanggup untuk mengatakan hal itu. Terasa seperti tercabik-cabik hatinya. Tapi saat ini pendidikan, cita-cita dan kecintaannya kepada orang tuanyalah yang lebih penting dari apapun termasuk cintanya.
    “Semoga kamu mendapatkan yang lebih baik dariku. Aku berangkat duku. Assalamualaikum.”
kata Asya lalu meninggalkan Alyas sendiri. Ia sudah take off. Membawa cinta dan harapan yang indah. Alyas hanya dapat memandang kepergian Asya sampai gadis itu menghilang dari pandangannya.
    “Aku janji akan menunggumu membawa cintaku kembali Sya... cintaku telah tertambat di hatimu, sekarang, esok, mauoun akan datang.”

 ==================================================================

      

0 komentar:

Posting Komentar