Rabu, 25 Desember 2013




          Indonesia merupakan salah satu negara yang terkenal dengan ribuan pulaunya.Setiap pulau mempunyai kekhasan yang berbeda-beda, salah satunya dari aspek budaya. Jadi, tak salah jika Indonesia dikenal karena kekayaan budayanya.
          Dari sekian pulau di Indonesia, Pulau Sumba merupakan salah satu pulau kecil yang ada di Indonesia bagian timur, tepatnya di Nusa Tenggara Timur (NTT). Namun, menurut letak geografisnya, Pulau Sumba adalah salah satu dari beberapa pulau besar di NTT. Pulau Sumba memiliki 4 kabupaten yang salah satunya telah mengalami pemekaran yaitu Kabupaten Sumba Barat. Sumba Barat mengalami pemekaran menjadi Sumba Tengah dan Sumba Barat Daya. Namun pemekaran daerah ini tidak merubah sistem kebudayaan Sumba yang sudah menjadi tradisi secara turun temurun.
          Salah satu budaya yang masih terpelihara di Pulau Sumba adalah Pasola.Pasola merupakan rangkaian upacara tradisional masyarakat Sumba yang masih menganut agama asli yaitu Marapu.
          Lalu, apa yang dimaksud dengan Marapu ?
Marapu adalah kepercayaan masyarakat Sumba terhadap roh-roh nenek moyang. Konsep ini sering dikenal dengan istilah animisme, tapi ada sebagian dari mereka yang menyembah binatang tertentu (totemisme). Marapu merupakan nilai dasar masyarakat Sumba yang juga menjadi falsafah hidup bagi berbagai ungkapan budaya Sumba. Lebih menarik lagi yaitu pandangan para Tau Humba (orang-orang Sumba) terhadap alamsemesta. Mereka memandang alam semesta dengan istilah“ Walu danu awangu, pucudanu laur i “ yang berarti 8 lapis langit dan 7 lapis bumi. Lapisan langit dihuni roh baik dan lapisan bumi dihuni roh jahat.
Kembali pada tradisi Pasola. Pasola yaitu permainan ketangkasan dari Sumba Barat dengan cara saling melempar lembing kayu dari atas punggung kuda yang dipacu kencang antara dua kelompok berlawanan. Biasanyatradisiperanginidilaksanakan di bentangan padang yang luas dan ditonton segenap warga dari kelompok yang bersangkutan, masyarakat umum bahkan turis mancanegara.
Masing-masing kelompok terdiri lebih dari 100 pemuda bersenjatakan tombak dari kayu yang berujung tumpul. Cukup mengerikan ketika dalam pasola ini memakan korban jiwa. Meski disebut permainan, namun tradisi ini juga menjadi salah satu bentuk pengabdian dan aklamasi ketaatan masyarakat Sumba pada leluhurnya. Ada beberapa ketentuan saat pelaksanaan pasola.Jika ada darah yang keluar dari para “ksatria” (mereka yang bermain pasola), maka darah itu dianggap berkhasiat untuk kesuburan tanah dan kesuksesan panen. Namun, bila terjadi kematian dalam permainan pasola, menandakan bahwa sebelumnya telah terjadi pelanggaran norma adat yang dilakukan warga di tempat pelaksanaan pasola. Menurut kepercayaan Marapu, korban tersebut justru mendapat hukuman dari para dewa karena telah melakukan pelanggaran.
Pasola adalah kultur religius yang mengungkapkan inti religiusitas agama Marapu. Hal ini sangat jelas pada pelaksanaan pasola, pasola diawali dengan doa semadhi dan Lakutapa (puasa) para Rato, foturolog dan pemimpin religius dari setiap kabisu terutama yang terlibat dalam pasola.Sedangkan sebulan sebelum hari H pelaksanaan pasola sudah dimaklumkan bulan pentahiran bagi setiap warga. Pasola jugamerupakan satu bentuk penyelesaian krisis suku melalui `bellum pacificum’ perang damai dalam permainan pasola.Pasola menjadi perekat jalinan persaudaraan antara dua kelompok yang turut dalam pasola dan bagi masyarakat umum. Permainan jenis apa pun termasuk pasola selalu menjadi sarana sosial ampuh. Apalagi bagi kedua kabisu yang terlibat secara langsung dalam pasola.
Pasola diawali dengan pelaksanaan adatnyale. Adat nyale adalah salah satu upacara rasa syukur atas anugerah yang didapatkan, yang ditandai dengan datangnya musim panen dan cacing laut yang melimpah di pinggir pantai. Adat tersebut dilaksanakan pada waktu bulanpurnama dan cacing-cacing laut (dalam bahasa setempat disebut nyale) keluar di tepi pantai. Para Rato (pemuka suku) akan memprediksi saat nyale keluar pada pagi hari, setelah hari mulai terang. Setelah nyale pertama didapat oleh Rato, nyale dibawa ke majelis para Rato untuk dibuktikan kebenarannya dan diteliti bentuk serta warnanya. Bila nyale tersebut gemuk, sehat, dan berwarna-warni, pertanda tahun tersebut akan mendapatkan kebaikan dan panen yang berhasil. Sebaliknya, bila nyale kurus dan rapuh, akan didapatkan malapetaka.Setelah itu penangkapan nyale baru boleh dilakukan oleh masyarakat.Tanpa mendapatkan nyale, Pasola tidak dapat dilaksanakan.
Selama pasola berlangsung semua peserta, kelompok pendukung dan penonton diajak untuk tertawa bersama, bergembira bersama dan bersorak-sorai bersama sambil menyaksikan ketangkasan para pemain dan ringkik pekikan gadis-gadis pendukung kubu masing-masing. Karena itu pasola menjadi terminal pengasong keseharian penduduk dan tempat menjalin persahabatan dan persaudaraan.
Sebagai sebuah pentas budaya sudah pasti pasola mempunyai pesona daya tarik yang sangat memukau. Oleh karenanya pemerintah dan seluruh warga masyarakat setempat sangat mendukung untuk menjadikan kegiatan pasola sebagai salah satu `mayor event’ yang pantas menjadi kekayaan budaya bangsa yang tak ternilai harganya.




0 komentar:

Posting Komentar